Menyimak Pengalamanan Non-Muslim yang Berpuasa Ramadan

Ibadah puasa adalah sebuah kewajiban yang dijalankan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Sebulan penuh kita akan diuji untuk tidak makan minum di siang hari dan menjauhi segala hal yang bisa membatalkan atau menghilangkan pahala puasa.

Namun bagaimana bila yang menjalaninya adalah seorang non-muslim yang sama sekali belum pernah berpuasa? Karena ingin merasakan pengalaman berpuasa dan menggali hikmah darinya, Kevin Childress, seorang non-muslim berkebangsaan Amerika mencoba berpuasa sebulan penuh. Berikut petikan pengalamannya.


Sebagai orang dewasa, hidup telah membawaku berkeliling dunia. Aku tinggal di Armenia selama dua tahun, bekerja pada lembaga perdamaian. Aku pernah mengunjungi Mesir, Turki, Rusia, India, dan seluruh wilayah timur dan barat Eropa. Dan di semua tempat tersebut, aku menyaksikan ekspresi kebencian dan superioritas satu golongan terhadap golongan lainnya. Tak ada satu negarapapun yang terbebas dari sikap tersebut. Tapi di beberapa negara tadi aku juga menyaksikan bentuk kebaikan yang luar biasa, simpati dan penghormatan terhadap pendatang.

Ketika berumur 40 tahunan, aku kembali belajar di sekolah perbandingan agama (membandingkan doktrin dan praktek agama-agama dunia). Ini adalah sesuatu yang selalu ingin kupelajari, mungkin disebabkan oleh komitkenku untuk menghargai orang asing. Aku tak pernah ingin hanya mempelajari agama tertentu, karena keberagamanlah yang membuatku terpesona, dan inilah yang menjadi inti pekerjaanku.

Dua tahun yang lalu, aku membaca sebuah blog milik Sharon Harper tentang pengalamannya sebagai seorang non-muslim yang menjalani puasa selama Ramadhan. Ide ini membuatku tertarik, karena apa yang dilakukannya adalah sebuah pesan kuat menghormati dan menunjukan solidaritas kepada umat Muslim.

Saat kuputuskan untuk melakukan puasa selama Ramadan, aku mengumumkannya di Facebook. Aku menyiapkam diri untuk berpuasa, membuat jadwal apa yang harus disiapkan dan apa yang akan dimakan. Aku memang orang yang teratur, dan aku membuat jadwal dengan antusias.

Awalnya tampak mudah. Aku belajar beberapa tips cara memasak sendiri hidangan untuk buka puasa. Tapi menjelang malang, aku seringkali kehabisan tenaga untuk memasak. Ternyata, berbuka diawal waktu sangat penting.

Beberapa orang mengaku mendapat pengalaman spiritual selama berpuasa. Ini mungkin terdengar aneh, tapi selama aku berpuasa, aku menjadi lebih banyak membaca puisi, dan melamunkan dunia dengan puitis. Aku jarang menulis puisi, tapi selama puasa aku bisa banyak menulis puisi. Aku mendapatkan semacam keheningan dalam benakku yang membuat banyak ide muncul.

Mungkin orang akan bercanda aku hanya sedang mengalami semacam kekurangan protein atau semacamnya, tapi menurutku bukan karena itu. Kupikir aku sedikit lebih dekat dengan apa yang disebut sebagai "keabadian", yang banyak orang menyebutnya sebagai Tuhan.

Selama Ramadan, banyak undangan untuk berbuka bersama dari teman-teman Muslim yang kutemui di Facebook. Saat buka bersama, aku bertemu dengan banyak orang yang juga mengajak berbuka di lain hari. Terimakasih dengan undangannya, aku berbuka di berbagai tempat setiap harinya. Bahkan aku bertemu dengan orang-orang yang ikut berbuka meski bukan Muslim, yang kadang malah tuan rumahnya adalah politisi yang non-Muslim. Dalam berbuka bersama aku menemukan sesuatu yang menakjubkan dan penting: Di meja makan, saat kami bertemu dan menjadi mengenal satu sama lain, kami berubah dari orang asing menjadi tetangga dekat.


Namun masalah timbul saat orang yang kukenal menawarkan hidangan saat aku sedang puasa. Mereka tidak tahu aku puasa dan aku tak sanggup menolak tawaran mereka. Aku teringat suatu ketika saat di Armenia, sebuah keluarga miskin mengundangku bersantap. Untuk menghormati kedatanganku, mereka memotong satu-satunya kambing mereka dan menggorengkan hatinya untukku. Mereka menghidangkannya dengan penuh kebanggaan, perasaanku campur aduk melihatnya. Aku tahu mereka berkorban banyak untukku, jadi aku makan sebanyak yang aku bisa untuk menghargai mereka.

Jadi, ketika ada teman yang membuatkkan makanan untukku, aku tak sanggup menolaknya. Aku harus menghormatinya dan kuputuskan membatalkan puasaku. Setelahnya, ada perasaan bersalah karena membatalkan puasa, aku merasa telah gagal. Tapi aku segera sadar aku mengorbankan puasa untuk sesuatu yang lebih penting; menghargai orang lain. Mungkin aku sama sekali tidak gagal.

Selama sisa Ramadan aku puasa sebisanya, dan aku membatalkan puasa pada situasi tertentu. Seorang Muslim tentu saja tidak akan mau berbuat sepertiku. Dan mereka akan sangat jarang mendapati situasi seperti itu, karena kebanyakan orang akan tahu kalau ia sedang berpuasa. Tapi bagiku, puasaku telah berhasil, karena aku menjadi sadar akan pentingnya makanan, dan fungsi yang bisa dilakukan makanan dalam sebuah masyarakat.

Saling berbagi makanan bisa memecahkan dinding es antara orang asing, dan menjadi bentuk dari sebuah keramah-tamahan serta penanda kepercayaan dan penghormatan. Dan itu pasti akan menolong kita untuk menikmati saat-saat menyenangkan dalam hidup kita, ketika orang datang bersama-sama mengelilingi meja makan untuk saling berbagi.

Disarikan dari penuturan Kevin Childress di parliamentofreligions.org, pemilik tunggal SocialNet Works, LCC. Meski latar belakang pendidikannya ilmu Perbandingan Agama, latar belakang profesionalnya adalah Bisnis dengan pengalaman puluhan tahun di bidang teknologi informasi, Public Media & Donor relation, Executive Management & Finance. TInggal di New York, AS


Previous
Next Post »