telah diwujudkan dalam beberapa peristiwa yang paling mengerikan dalam sejarah manusia, hal-hal yang setiap anak sekolah pelajari dalam pelajaran sejarah dan tidak harus kita ceritakan disini.
Meskipun manusia penuh dengan kekejaman dan kekerasan untuk waktu yang sangat lama, abad ke-20 mungkin mewakili perilaku itu. Dengan dua Perang Dunia dan banyak konflik "kecil" lainnya, abad ke-20 tampaknya belum bisa belajar dari sejarah.
Dengan munculnya abad ke-21, perang tampaknya bergeser dari apa yang para pemimpin militer sekarang
sebut sebagai perang kinetik menuju ke perang cyber. Perang kinetik adalah di mana peluru, bom, tank dan
pesawat bergerak (kinetik) dan membunuh. Sementara Perang Cyber adalah di mana masing-masing pihak
mencoba untuk mengganggu dan menghancurkan infrastruktur digital lawan.
Dalam perang kinetik, bangsa dengan anggaran terbesar untuk belanja senjata kinetik akan mendominasi. Mereka dapat mengembangkan dan membeli senjata paling canggih dan mematikan dan membangun armadanya untuk melawan musuh. Keuntungan ini mungkin tidak berlaku untuk perang cyber.
Perang cyber menargetkan infrastruktur digital bangsa lain. Jika kombatan dapat mengambil alih sistem yang dikendalikan secara digital seperti instalasi listrik, komunikasi, transportasi, dan air, kemampuan pihak musuh untuk melawan akan lumpuh.
Salah satu aspek perang cyber yang membedakan dari perang kinetik adalah bahwa makin maju teknologinya, maka sebenarnya akan semakin tidak diuntungkan. Semakin suatu bangsa atau kelompok bergantung pada sistem digital, maka mereka akan menjadi semakin rentan.
Banyak senjata abad ke-20 seperti bom atom, pesawat siluman, dll yang luar biasa destruktif dan mahal. Hanya beberapa negara bisa membelinya dan menggunakannya. Persenjataan dari abad ke-21 mungkin akan sama efektif, tetapi dengan biaya yang jauh lebih murah.
Perubahan dramatis dalam persenjataan dapat mengubah sejarah manusia. Pada awalnya perubahan itu akan terjadi di medan pertempuran dimana negara-negara yang paling kaya dan berteknologi canggih akan berhadapan dengan lawan yang tidak memiliki sumber daya yang sama. Pada titik ini, kemungkinan lawan tanpa sumber daya akan lebih diuntungkan karena negara yang berteknologi maju akan lebih rentan terhadap serangan cyberwar.
Perang cyber hanyalah salah satu contoh mengapa kita berpikir "kemampuan hacking" tidak hanya yang paling penting dalam keahlian di bidang teknologi informasi, tetapi mungkin keterampilan yang paling penting di abad ke-21 ini.
Konflik Timur Tengah
Seperti yang kita ketahui, saat ini sedang berlangsung konflik antara Islamic State (ISIS) dengan kekuatan pasukan dari Suriah, Irak, Iran dan Koalisi Barat yang dikomandoi militer AS. Sebagaimana seperti konflik bersenjata lainnya, Perang Cyber juga berperan disini. Kedua belah pihak menggunakan serangan cyber terhadap satu sama lain dengan cara yang baru dan berbeda.
Konflik ini bisa menjadi ujian besar pertama bagi para hacker cyberwar. Meskipun setiap konflik dan potensial konflik lainnya di abad ke-21 telah memiliki komponen cyberwar / hacker, konflik ini tampaknya akan membawanya ke tingkat berikutnya. Dimulai dengan invasi Rusia ke Georgia dan disusul dengan serangan DoS pada infrastruktur internet Georgia hingga pada penyerangan fasilitas pengembangan milik AS, Stuxnet, serta sabotase atas fasilitas pengayaan uranium Iran, menjelaskan bahwa perang cyber mengambil peran.
Mari kita lihat beberapa peristiwa aktual beberapa hari terakhir.
ISIS merilis Nama dan Alamat Pasukan AS
ISIS telah sangat efektif dalam menggunakan media sosial untuk merekrut anggota untuk tujuan mereka. Mereka menggunakan Facebook, Twitter, dan Instagram untuk mengkampanyekan tujuan mereka dan merekrut anggota baru. Meskipun hal ini tidak secara teknis cyberwar, tentu menunjukkan kecanggihan kelompok ini dalam menggunakan Internet untuk meraih tujuan
Sebuah kelompok yang menamakan dirinya "CyberCaliphate", telah meng-hack sejumlah situs surat kabar dan TV Nasional serta akun Twitter di Amerika Serikat dan negara-negara Barat yang terlibat dalam perang melawan ISIS. Selain itu, "CyberCaliphate" meng-hack akun Twitter dari Komando Pusat AS. Saat mereka mengendalikan akun tersebut, mereka mengirim pesan ancaman kepada tentara AS.
Baru-baru ini, sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Islamic State Hacking Division" mengklaim telah menyusup ke dalam server Departemen Pertahanan AS (DoD) dan mempublikasikan secara online nama dan alamat para Tentara AS yang terlibat dalam perang melawan ISIS. Mereka kemudian mengeluarkan ancaman bagi para tentara tersebut. Komando Sentral AS telah menyatakan bahwa informasi itu tidak hack dari server DoD, tapi disinyalir tersedia dari sumber-sumber publik secara online.
Dalam menanggapi serangan ini, Komando Sentral AS mem-posting, "Kami beroperasi dalam 'kondisi baru' di mana cyberwar adalah nyata dan terus-menerus mengancam."
Anonymous Menyerang ISIS
Pada bulan Januari, Anonymous menyatakan perang terhadap ISIS. Para hacker gabungan dari seruluh dunia tersebut, yang memainkan peran kunci dalam revolusi "Arab Spring" melawan rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan negara-negara lain, memutuskan untuk menerapkan kekuatan dan keterampilan untuk melawan ISIS. Salah satu tindakan pertama dalam cyberwar adalah membobol dan menutup lebih dari 800 akun media sosial ISIS di Twitter, Facebook, Instagram, dll.
Dalam video online berikut, Anonymous mengancam ISIS: "Anda akan diperlakukan seperti virus, dan kami-lah obatnya. Kami-lah yang memiliki internet.."
Anonymous tampaknya telah efektif untuk meng-hack banyak situs rekrutmen dan akun Twitter ISIS.
Konflik baru antara kekuatan Barat dan ISIS tampaknya menjadi pelopor untuk kemampuan teknik dan kemungkinan-kemungkinan lain dalam perang cyber di abad baru kita. Dan kembali menekankan bahwa keterampilan hacker adalah keterampilan yang paling penting dan berharga dari abad ke-21.
Sumber : null-byte.wonderhowto.com
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon